HUKUM ADMINISTRASI NEGARA " FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS PELAYANAN PUBLIK "
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
A. Pengertian Pelayanan Publik
Pengertian
resmi pelayanan publik menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pelayanan Publik,
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan penduduk atas barang, jasa, dan atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Penyelenggara
pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara menurut pasal 1 ayat
(2) UU Pelayanan Publik, adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk
kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.
Menurut
Kotler pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan
atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada
suatu produk secara fisik.[1]
Selanjutnya Sampara Lukman berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau
urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan
orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.[2]
Sementara dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan pelayananan sebagai hal, cara, atau hasil pekerjaan
melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang) dengan makanan atau
minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan;
menerima; menggunakan.[3]
[1] Dr.Ir.H.Juniarso
Ridwan M.Si,MH, dan Achmad Sodik Sudrajat, SH,M.H dalam bukunya, Hukum
Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik hlm.17
[2] Sampara
Lukman, Managemen Kualitas Pelayanan, (Jakarta, STIALAN Press, 2000), hlm 8
dikutip oleh Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan M.Si,MH, dan Achmad Sodik Sudrajat, SH,M.H
dalam bukunya, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik hlm.18
[3] J.S.Badudu,
Sultan Muhammad zain, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta Pustaka Sinar Harapan,
2001) hlm 781-782. Ibid
Sementara itu
kata publik berasal dari Bahasa Inggris public yang berarti umum,
masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa
Indonesia baku, pengertiannya adalah orang banyak.[1]
Sementara itu Inu Kencana mendefinisikan publik adalah sejumlah manusia yang
memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap, dan tindakan yang
benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang ada. Oleh karena itu
pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terkait pada suatu produk secara fisik. [2]
Sementara itu menurut Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan
M.Si,MH, dan Achmad Sodik Sudrajat, SH,M.H [3]
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara terhadap masyarakatnya
guna memenuhi kebutuhan dari masyarakat itu sendiri dan memiliki tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sedangkan
menurut Ketetapan Menteri Perdayagunaan Aparatur Negara No.63/KEP/M.PAN/7/2003,
pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk
lebih jelas, pelayanan publik ini dibagi dalam kelompok-kelompok:
a. Kelompok Pelayanan Administratif, yaitu pelayanan yang
menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik,
misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau
penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara
lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte
Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Izin Mengemudi (SIM),
Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), Izin Mendirikan Bangunan (1MB),
Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya;
b. Kelompok
Pelayanan Barang, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis
barang yang digunakan oleh publik:, misalnya jaringan telepon, penyediaan
tenaga listrik, air bersih dan sebagainya;
c. Kelompok
Pelayanan Jasa, yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik,
misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos,
dan sebagainya.
Secara teoritis, tujuan dari pelayanan publik pada
dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut
kualitas pelayanan prima yang tercermin dari :
a. Transparansi,
yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak
yang membutuhkan serta disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;
b. Akuntabilitas,
yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. Kondisional,
yakni pelayanan·yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima
pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas;
d. Partisipasif,
yaitu pelayanan yangdapat mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan
harapan masyarakat;
e.
Kesamaan hak,
yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun
khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial; dan lain-lain;
f. Keseimbangan
hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara
pemberi dan penerima pelayanan publik.
[1] Ibid
[2] Lijian
Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan
Publik, Teori, kebijakan danImplementasi,
(Bandung Bumi Aksara, 2006) hlm 8-9 dikutip oleh Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan
M.Si,MH, dan Achmad Sodik Sudrajat, SH,M.H dalam bukunya, Hukum
Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik hlm.18
[3] Achmad
Sodik Sudrajat, SH,M.H dalam bukunya, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan
Layanan Publik hlm.18
B. Konsep Pelayanan Publik
Penyelenggaraan
pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah
satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai "abdi masyarakat"
di samping sebagai "abdi negara". Pelayanan publik (public
services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat
(warga negara) dari suatu teori negara kesejahteraan (welfare state).
Kondisi
perkembangan masyarakat yang dinamis, menginginkan birokrasi publik harus dapat
memberikan pelayanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,
transparan, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangaun
kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat
untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Arah pembangunan kualitas
manusia tadi memberdayakan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi
yang memungkinkan setiap anggota masyarakat nengembangkan kemampuan dan
kreativitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.[1]
Negara-negara
maju dalam penyelenggaraan pelayanan publik terkini sudah mengacu pada
paradigma pelayanan publik " new
public service " atau disingkat NPS, sebagai paradigma pelayanan
publik yang prima berasaskan partisipasi masyarakat. Dalam paradigma NPS,
administrasi publik lebih menekankan peran serta masyarakat dan sektor publik
menuju manajemen pelayanan publik yang lebih pro-pasar, sehingga menjadi
pergeseran dari kebijakan dan administrasi menuju manajemen dengan mengadopsi
manajemen sektor swasta (privat). [2]
[1] Nuryanto A. Daim, S.H.,M.H., dalam bukunya “Hukum
Administrasi “ Perbandingan Penyelesaian
Maladministrasi oleh Ombudsman dan pengadilanTata Usaha Negara, hlm 48
[2] Ibid
Praktek pelayanan publik dalam perspektif NPS ini
diselenggarakan berdasarkan pertimbangan ekonomi yang rasional. Kebutuhan dan
kepentingan publik dirumuskan sebagai agregasi dari kepentingan-kepentingan
publik (public interest). Masyarakat diposisikan sebagai pelanggan (customers)
sedangkan pemetintah berperan mengarahkan pasar. Dalam perkembangannya konsep
ini diterjemahkan bahwa untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas maka
diperlukan standar pelayanan untuk menjamin kualitas pelayanan publik. [1]
Pelayanan
yang berfokus pada pengguna dengan menetapkan standar pelayanan memang telah
diakui keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik baik
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah pusat ataupun oleh pemerintah daerah.
Tetapi usaha tersebut dirasa belum cukup karena masyarakat belum sepenuhnya
ditempatkan sebagai pemilik (owner) pemerintahan yang memberikan
pelayanan publik tersebut.
Dalam
negara yang menganut regym negara hukum yang demokratis mengedepankan
prinsip-prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya maka warga
negara tidak cukup dipandang sebagai customer, melainkan pengguna
layanan merupakan warga negara (citizen) yang ditempatkan sebagai pemilik
(owner) pelayanan publik.
Paradigma
NPS menempatkan warga tidak hanya sebagai customer tetapi sekaligus
masyarakat dipandang sebagai warga negara (citizens) yang mempunyai hak
untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dari negara. Dalam konsep
ini birokrasi publik dituntut untuk merubah dirinya dari government menjadi governance sehingga
administrasi publik akan tampil lebih powerfull dalam menjelaskan
masalah-masalah kontemporer yang terjadi
di dalam bahasan publik. Dalam konsep ini birokrasi publik tidak hanya
menyangkut unsur pemerintah saja tetapi semua permasalahan yang berhubungan
dengan public affairs dan public interest.[2]
Secara tegas NPS
menyodorkan doktrin baru dalam pelayanan publik
yakni:
a. Serve
citizen not customer (melayani warga negara bukan sebagai pengguna layanan
saja).
b. Seek
the public interest, (mencari kepentingan publik).
c. Value
citizenship over entrepreneurship (menilai kewarganegaraan di atas konsep
kewirausahaan).
d. Think
strategically act democratically (berfikir strategis bertindak demokratis).
e. Recognize
that accountability is not simple (menerapkan akuntabilitas yang
tidak sederhana).
f.
Serve rather than steer (melayani tidak hanya mengarahkan).
g.
Value people not just productivity (menilai
orang bukan hanya produktifitasnya).[3]
[1]
Ibid
[2] Ibid
[3]
Denhardt, Janet V dan Robert B. Denhardt, 2003, Tbe New Public Sewices;
Sewing, not Steering, Armonk, New
York-London, England; M.E. Sharpe, Hal 42-43 dikutip oleh : Nuryanto A. Daim, S.H.,M.H., dalam
bukunya “Hukum Administrasi “ Perbandingan Penyelesaian Maladministrasi oleh Ombudsman dan
pengadilanTata Usaha Negara, hlm 49
Pelayanan publik yang profesional, artinya pelayanan publik
yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi
layanan (aparatur pemerintah). Adapun ciri-ciri pelayanan publik yang
professional adalah sebagai berikut:
a.
Efektif, lebih
mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
b.
Sederhana,
mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan:
1) Diselenggarakan
secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta
pelayanan.
2)
Kejelasan dan
kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
- Prosedur/tatacara
pelayanan.
- Persyaratan
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administratif.
- Unit kerja dan
atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan.
-
Rincian
biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya.
-
Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
3) Keterbukaan,
mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan
secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta.
c. Efisiensi,
mengandung arti:
- Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan.
- Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
- Ketepatan waktu, kriteria im mengandung artipelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
- Responsif, lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani. Adaptif, cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Di
samping ciri-ciri di atas, masih ada 5 (lima) karakteristik yang dapat dipakai
untuk membedakan jenis-jenis penyelenggaraan
pelayanan publik tersebut, yaitu:
a. Adaptabilitas
layanan; lni berarti derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan
yangdiminta oleh pengguna.
b. Posisi
tawar pengguna/klien; Semakin tinggi posisi tawar pengguna/klien, maka akan
semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.
c. Type
pasar ; Karakteristik ini menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang
ada, dan hubungannya dengan pengguna/klien.
d. Locus
control; Karakteristik ini menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas
transaksi, apakah pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.
e. Sifat
pelayanan; Hal ini menunjukkan kepentingan pengguna atau penyelenggara
pelayanan yang lebih dominan.
Untuk
mewujudkan pelayanan publik yang prima dan profesional, dan lebih
mengoptimalisasikan penyelenggaraan pelayanan
publik, harus memperhatikan azas-azas yang termuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun azas
tersebut adalah :[1]
- Transparansi, yaitu bersifat terbuka, mudah, dan bisa diakses semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti.
- Akuntabilitas, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan " ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Kondisional, yaitu sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
- Partisipatif, yaitu mendoropg peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
- Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama; golongan, gender, dan status ekonomi.
- Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masingmasing pihak.
[1] Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan, M.Si., MH, Achmad Sodik
Sudrajat,S.H., M.H “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik “
Nuansa Cendikia 2014 Hal.101
a. Prinsip Pelayanan Publik :
1)
Kesederhanaan,
yaitu prosedur "pelayanan publik
tidak berbelit-belit, mudah dipahami" dan mudah dilaksanakan.
2)
Kejelasan, memuat tentang:
a. Persyaratan
teknis dan administratif pelayanan.
b. Unit
kerja atau pejabat yang berwenang dan
bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan
/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik.
c. Rincian
biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
3) Kepastian
Waktu, di mana dalam pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam
kurun waktu yang telah ditentukan.
4) Akurasi,
di mana produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
5) Keamanan,
proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
6) Tanggungjawab,
pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau
persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
7) Kelengkapan
sarana dan prasarana, yaitu tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan
kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi komunikasi dan informatika (telematika).
8) Memudahan
akses, di mana tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau
oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekominikasi dan
informatika.
9) Kedisiplinan,
kesopanan, dan keramahan, di mana pemberi pelayanan harus bersikap disiplin,
sopan, dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
10) Kenyamanan,
yaitu lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang
indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan segerti parkir, toilet, tempat
ibadah, dan lain-lain.
b. Standar Pelayanan Publik
Setiap
penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan
dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan.
Standar pelayanan adalah ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan
yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau
penerima pelayanan. Adapun standar pelayanan meliputi:
Prosedur pelayanan
yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan.
Waktu
penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan
penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
Biaya atau tarif
pelayanan termasuk rincian yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
Hasil pelayanan
yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Penyediaan
sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penye1enggara pelayanan publik.
Kompetensi
petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan
pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku
yang dibutuhkan.
c. Pola
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
- Fungsional, yaitu pola pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya.
- Terpusat, yaitu pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dan penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.
d. Biaya
Pelayanan Publik
Dalam
penetapan biaya pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal seperti:
1) Tingkat
kemampuan dan daya beli masyarakat.
2) Nilai
atau harga yang berlaku atas barang dan atau jasa.
3) Rincian
biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang memerlukan tindakan seperti
penelitian, pemeriksaan, pengukuran' dan pengajuan.
4) Ditetapkan
oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan prosedur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan
Publik.
Dalam
menjalankan fungsinya hukum memerlukan berbagai perangkat agar memiliki kinerja
yang baik. Salah satu kinerja hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya
adalah bahwa hukum memiliki kaidah yang bersifat memaksa. Artinya apabila azas
dan kaidah hukum dituangkan ke dalam sebuah peraturan perundang-undangan, maka
setiap orang diharuskan untuk melaksanakannya.
Dalam
pembahasan tentang topik mengenai faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan
pelayanan publik, maka sebagaimana konsep Lawrence M. Friedmen tentang tiga
unsur sistem hukum menyatakan, yaitu:
a.
Struktur hukum, yakni kerangka atau rangkaian
dari hukum itu sendiri.
b.
Substansi hukum, yakni aturan, norma, dan pola
perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum .
c.
Kultur hukum, yakni sikap manusia terhadap hukum
dan sistem hukum, yang di dalamnya terdapat kepercayaan, nilai, pemikiran serta
harapan.[1]
Selanjutnya
menurut Soerjono Soekanto,[2]
penegakan hukum sebenarnya terletak pada
faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor itu mempunyai arti yang
netral, sehingga dampak positif maupun negatifnya terletak pada substansi atau
isi faktor tersebut. Adapun faktor yang dimaksudkan adalah:
a.
Faktor hukumnya sendiri;
b.
Faktor penegak hukum;
c.
Faktor sarana;
d.
Faktor masyarakat;
e.
Faktor kebudayaan.
[1] Lawrence M.Friedmen, Amerikan Law Introduction (Jakarta tata Nusa, 2001,
hlm.7) dikutip oleh Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan M.Si,MH, dan Achmad Sodik Sudrajat,
SH,M.H dalam bukunya Hukum Administrasi
Negara dan Kebijakan Layanan Publik hlm.21.
[2] Soerjono Soekanto, “ Faktor-Faktor
yang mempengaruhi Penegakan Hukum “ (Jakarta Grafindo, 2005.hlm 8-9)
Kelima
faktor tersebut saling berkaitan erat satu sama lainnya, oleh karena itu faktor
tersebut merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari
efektivitas penegakan hukum.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat memberikan suatu pemahaman bahwa dalam hal peningkatan
terhadap pelayanan publik tidak akan
terlepas dari konsep penegakan hukum. Hal tersebut dapat dilihat bahwa dalam
penyelenggaraan pelayanan publik tidak
terlepas unsur-unsur dalam penegakan hukum, terlebih lagi pihak maupun unsur
yang terkait dalam peningkatan pelayanan publik tercakup dalam unsur penegakan
hukum itu sendiri.
Penegakan hukum dan pengawasan merupakan timbulnya
keteraturan, sedangkan keteraturan
merupakan tulang punggung dari timbulnya hubungan-hubungan sosial yang
bagaikan mcngalir dengan tertib. Hal ini sebagaimana pendapat Vinogradoff dalam hubungan ini mengatakan
bahwa adalah suatu hal yang nonsens, apabila
hubungan sosial itu bisa berlangsung sedang masyarakat tidak mengenal
ketertiban (order). Dengan perkataan lain, ketertiban itu merupakan syarat bagi
berlangsungnya hubungan-hubungan antara sesama anggota masyarakat “ Apabila seseorang bisa mendapatkan
keuntungan bagi dirinya sendiri atas kerugian tetangganya dengan cara mencopet
rotinya, maka akan sulitlah jadinya untuk mcnegakkan suatu masyarakat
kepentingan-kepentingan atau hubungan-hubungan yang bersifat bersahabat antara
sesama anggota masyarakat". (Vinogradoff. 1959 : 13).[1]
[1] Dikutip oleh Prof.Dr.Satjipto rahardjo,SH dalam bukunya “ Ilmu Hukum”
PT.Citra Aditya Bakti Bandung 2006 Hal 127
Dari
uraian dimuka, dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa faktor-faktor yang mendukung dan yang mempengaruhi peningkatan kualitas pelayanan
publik adalah:
a. Faktor Hukum
Hukum akan mudah ditegakkan, jika aturan atau
undang-undangnya sebagai sumber hukum mendukung untuk terciptanya penegakan
hukum. Artinya, peraturan perundang-undangannya sesuai dengan kebutuhan untuk
terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik. Kemudian suatu aturan atau
undang-undang dapat dikatakan bisa menjadi sumber hukum dan kemudian
ditegakkan, jika undang-undang itu harus berada dalam azas-azas sebagai
berikut:
- Undang-undang tidak boleh berlaku surut. Artinya undang-undang hanya boleh diterapkan pada peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut, serta terjadi setelah undang-undang tersebut berlaku.
- Undang.:.undang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan lebih tinggi pula.
- Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
- Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu
- Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
b. Faktor Aparatur Pemerintah.
Aparatur pemerintah merupakan salah satu faktor dalam terciptanya
peningkatan pelayanan publik. Oleh karena aparat pemerintah merupakan unsur yang bekerja di
dalam praktik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Maka secara
sosiologis aparat pemerintah mempunyai kedudukan atau peranan dalam terciptanya
suatu pelayanan publik yang maksimal.
c. Faktor
Sarana
Penyelenggaraan pelayanan publik tidak akan berlangsung
dengan lancar dan tertib (baik) jika tanpa adanya suatu sarana atau fasilitas
yang mendukungnya. Sarana itu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup. Jika
hal-hal yang demikian itu tidak terpenuhi, maka mustahil tujuan dari pelayanan
publik akan tercapai dengan baik atau sesuai dengan harapan. Meskipun
faktor-faktor hukum, aparat penegak hukum, dan kesadaran hukum masyarakat sudah
dapat dipenuhi dengan baik, namun jika fasilitas yang tersedia kurang memadai,
niscaya tidak akan terwujud suatu pelayanan publik yang baik.
d. Faktor
Masyarakat
Pada intinya penyelenggaraan
pelayanan diperuntukkan untuk masyarakat, dan oleh karenanya masyarakatlah yang
memerlukan berbagai pelayanan dari pemerintah sebagai penguasa pemerintahan.
Dengan kata lain masyarakat memiliki eksistensi dalam pelayanan, karena dalam
konteks kemasyarakatan pelayanan public berasal dari masyarakat (publik) di
mana tujuan utamanya adalah untuk terciptanya kesejahteraan masyarakat
seutuhnya. Oleh karena itu jika dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat memengaruhi terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik yang baik.
Artinya masyarakat harus mendukung terhadap kegiatan peningkatan pelayanan
publik yang diaktualisasikan melalui kesadaran hukum.
e. Faktor
Kebudayaan
Kebudayaan merupakan faktor yang hampir sama dengan faktor
masyarakat. Jika melihat dari sistem sosial budaya, negara Indonesia sendiri
memiliki masyarakat yang majemuk dengan berbagai macam karakteristik. PerIu
disadari bahwa obyektifnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik tidak bisa
harus disamaratakan karena memiliki perbedaan karakteristik pada masing-masing
masyarakat di setiap daerahnya.
Faktor kebudayaan dalam terciptanya
penyelenggaraan pelayanan yang baik pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa
yang baik, layak dan buruk.
e. Faktor Pengawasan
Dalam
melaksanakan pengawasan penyelenggaraan publik, dilakukan dengan cara:
- Pengawasan Melekat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung, sesuai dengan ketententuan perundang-undangan.
- Pengawasan Fungsional, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
- Pengawasan Masyarakat, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat, berupa laporan atau pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.[1]
[1] Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan, M.Si., MH, Achmad Sodik Sudrajat,S.H., M.H “
Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik “ Nuansa Cendikia 2014
Hal.106-107
REFERENSI
Nuryanto A. Daim, S.H, M.H “ Hukum Administrasi” Perbandingan Penyelesaian maladministrasi
oleh Ombudsman dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Laksbang Justitia-Surabaya
2014.
Dr.Ir.H.Juniarso Ridwan, M.Si., MH, Achmad Sodik
Sudrajat,S.H., M.H “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Layanan Publik “
Nuansa Cendikia - 2014.
Prof.
Dr.Satjipto Rahardjo, SH “ Ilmu Hukum “ PT.Citra Aditya
Bakti Bandung -2006.
Komentar
Posting Komentar