PEMBUATAN DAN PENGESAHAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA
DALAM PERSPEKTIF TEORI HUKUM RESPONSIF DAN TEORI HUKUM KEADILAN
Sesuai dengan tujuan para pendiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mengamanatkan arah dan tujuan
penyelenggaraan pemerintahan adalah “ untuk memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”,
sebagimana tertuang dalam pembukaan (preambule) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan
wujud dari niat untuk membentuk negara yang sejahtera, adil dan makmur.
Dengan
demikian idealitas sistem hukum nasional itu pada dasarnya adalah dalam rangka
membantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat atau sebagaimana
disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 ;
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[1]
Sejalan dengan itu, tugas pokok bangsa
selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya
dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara
bertahap dan berkesinambungan.Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas
peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai
pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan
metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membentuk peraturan perundang-undangan.
Peranan Pemerintah untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka membantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat serta untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, dapat terwujud bila hukum dijadikan sebagai dasar segala tindakan pemerintah, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum “ Pernyataan ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa hukum dalam Negara Indonesia secara normatif mempunyai kedudukan yang sangat mendasar dan tertinggi (supreme).
Namun dalam realitas praktis terkadang idealitas itu tidak terealisasikan dengan baik, dan tergantung kepada tujuan yang akan dicapai oleh para penyelenggara Negara yang tidak terlepas dari kepentingan para elit politik dalam menentukan kebijakan Negara melalui proses pembuatan perundang-undangan, yang kadang kala justru mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku, dan merugikan masyarakat bawah dan disisi lain justru mengakomodir kepentingan para elit politik yang pada umumnya berasal dari kalangan pengusaha, misalnya yang pada akhir-akhir ini dalam penyusunan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang lebih dikenal dengan omnibus law, dimana dalam proses pembuatan dan pengesahannya mendapatkan penolakan dari berbagai pihak dan hampir dari seluruh daerah Indonesia, karena dinilai tidak memberikan kemanfaatan dan rasa keadilan bagi masyarakat, dan disisi lain masyarakat menilai proses dan prosedur pembuatannya tidak dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan materi muatannya tidak mencerminkan asas sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue tersebut diatas, yang paling sering menjadi diskursus adalah mengenai persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang menganggap hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil [2].
Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori keadilan menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Teori keadilan menjelaskan bahwa kepuasan seseorang tergantung apakah ia merasakan ada keadilan (equity) atau tidak adil (unequity) atas suatu situasi yang dialaminya. Teori ini merupakan variasi dari perbandingan sosial. Menurut teori ini, seseorang akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio hasil input orang bandingan. Jika perbandingan itu dianggapnya cukup adil, maka ia akan merasa puas. Namun jika perbandingan itu tidak seimbang dan justru merugikan, akan menimbulkan ketidak puasan dan menjadi motif tindakan bagi seseorang untuk menegakkan keadilan.
Menurut Nonet dan Selznick, ada tiga tipe tatanan Hukum, yang dalam tingkat tertentu menunjukkan suatu perkembangan tatanan hukum dalam masyarakat yang memiliki organisasi politik dalam suatu bentuk negara. Tiga tipe tatanan Hukum itu oleh Nonet-Selznick adalah: Tatanan Hukum Represif; Tatanan Hukum Otonomius dan Tatanan Hukum yang Responsif. [3] Kekuasaan pemerintah bersifat represif, jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka, atau dengan mengingkari legitimasi masyarakat. Represif tidak harus melibatkan penindasan yang mencolok. Represif terjadi pula ketika kekuasaan bersifat lunak namun hanya sedikit memberi perhatian dan tidak secara efektif dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Bentuk represif yang paling jelas dalam hal ini adalah menggunakan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak patuh atau menghentikan demonstrasi. Represif juga dapat berarti dengan mendorong persetujuan pasif.
A. Teori Keadilan dan Represif Dalam Pandangan
Para Pakar Dan Perspektif Hukum Nasional
1. Teori-teori Keadilan Menurut Para ahli
Teori-teori
Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan
sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for
justice”.[1]
Berbagai macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori
ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
Diantara teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam
bukunya nicomachean ethics dan teori
keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a
theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.
a. Teori
Keadilan Aritoteles
Pandangan
Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Spesifik dilihat dalam buku nicomachean
ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan
filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya,
“ karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. [2]
Pada
pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak persamaan tapi
bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak
proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah
yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga
negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang
menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya.
Lebih
lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan,
keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya
kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan
dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.[3]
Dari pembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi
dan perdebatan.
Keadilan
distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang
lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan
“pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah
distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku
dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang
sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.[4]
b. Teori
Keadilan John Rawls
Beberapa
konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John
Rawls, seperi A Theory of justice,
Politcal Liberalism, dan The Law of
Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus
nilai-nilai keadilan[5].
John
Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian
of social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
hadirnya institusi-institusi sosial (social
institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat
mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah
memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.[6]
Secara
spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan
dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi
asli” (original position) dan
“selubung ketidaktahuan” (veil of
ignorance).[7]
Pandangan
Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap
individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu
pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah
pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom),
dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic
structure of society).
Sementara
konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap
orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya
sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga
membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah
berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh
prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as fairness”.[8]
Dalam
pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asli” terdapat prinsip-prinsip
keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama
atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan
atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip
pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti
kebebasan beragama (freedom of religion),
kemerdekaan berpolitik (political of
liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression),
sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang
menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity principle).
Lebih
lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua
prinsip keadilan, yaitu ; pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.[9]
Dengan
demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal:
1) Melakukan
koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah
dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan.
2) Setiap
aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
c. Teori
Keadilan Hans Kelsen
Hans
Kelsen dalam bukunya general theory of
law and state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.[10]
Pandangan
Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-nilai keadilan
individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir
nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian
diperuntukan tiap individu.
Lebih
lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang
bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa
suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian
sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat
hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang
manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan
pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh
faktor-faktor emosional dn oleh sebab itu bersifat subjektif.[11]
Sebagai
aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal
dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari
penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai
doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu
keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang
lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari
penalaran manusia atau kehendak Tuhan.[12]
Pemikiran
tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme, mengakui
juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan
menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.
Menurut
Hans Kelsen : [13]
“Dualisme
antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam
mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model
Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide, yang
mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda
: yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang
disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.”
Dua
hal lagi konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen : pertama tentang
keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional.
Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu
kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik
kepentingan. Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai
melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan
kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu
perdamaian bagi semua kepentingan.[14]
Kedua,
konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar suatu yang kokoh
dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan”
bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar
diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika
diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.[15] Konsep
keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa
Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat dijadikan sebagai
payung hukum (law unbrella) bagi
peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan
peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat
(materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.[16]
2. Hukum
Represif Persfektif Teori Hukum Responsif
a. Hukum Represif (Represif Law)
Gagasan awal dari hukum represif adalah tatanan hukum tertentu dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Contoh dalam hal ini adalah memandang penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada dipihak masyarakat. Menurut Nonet & Selznick, kekuasaan pemerintah bersifat represif, jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka, atau dengan mengingkari legitimasi masyarakat. Represif tidak harus melibatkan penindasan yang mencolok. Represif terjadi pula ketika kekuasaan bersifat lunak namun hanya sedikit memberi perhatian dan tidak secara efektif dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Bentuk represif yang paling jelas dalam hal ini adalah menggunakan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak patuh atau menghentikan demonstrasi. Represif juga dapat berarti dengan mendorong persetujuan pasif.
Hukum
Represif menunjukkan karakter-karakternya sebagai berikut:
- pertama; institusi hukum secara langsung dapat diakses oleh
kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan Negara.
- kedua; langgengnya sebuah otoritas merupakan urusan yang
paling penting dalam administrasi hukum. Dalam perspektif resmi membatasi tuntutan-tuntutan dengan menetapkan
aturan-aturan yang kaku serta membatasi akses, penumpukan perkara di pengadilan
menyusul pembaruan mengenai perluasan hak untuk memberikan pendapat menunjukkan
betapa dalamnya sistem hukum tersebut tergantung kepada aksesibilitas yang
terbatas, terbangun manfaat dari keraguan (The benefit of the doubt) yang masuk
ke sistem. Kenyamanan administrasi menjadi titik perhatian;
-
ketiga; lembaga-lembaga kontrol yang terspesialisasi (seperti
polisi), menjadi pusat kekuasaan yang independen. Mereka terisolasi dari
konteks sosial yang berfungsi memperlunak serta mampu menolak otoritas politik;
- keempat; sebuah rezim hukum berganda (dual law), melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan mengkosolidasikan dan melegitimasi pola-pola subodinasi sosial; dan kelima; hukum Pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan menunjukan moralisme hukum yang akan datang.
3. Perspektif Keadilan Dalam Hukum Nasional
Pandangan
keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai
dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag) sampai sekarang
tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara Indonesia.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila
(subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan, yang
berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan yang berkeadilan
sosial.
Sebagai
pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima
Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan
Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam
sikap, tingkah laku, dan perbuata bangsa Indonesia. Kalau pengakuan,
penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta
perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah
pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh
karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan
sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan
keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu
Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan
adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila.
Menurut
Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang
dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil. [17]
1) “Adil”
ialah : meletakan sesuatu pada tempatnya.
2) “Adil”
ialah : menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
3) “Adil”
ialah : memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa
kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang
jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Untuk
lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional,
terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan
adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada
pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya
apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak
hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak
pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga memiliki
hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada diri
individu.[18]
Dengan
pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan
kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya. Konsepsi
demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber
hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar
senantiasa melakukan perhubungan yang
serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga
tercipta hubungan yang adil dan beradab.
Hubungan
adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar
maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun
mantap.[19]
Sebagaimana
diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup
dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang
yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan
perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya
orang yang dihakimi itu.
Keadilan
sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang
berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk
kepentingan Individu yang lainnya
Hukum
nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan
didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau
menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari
keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada
keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum
yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.
B. Pembuatan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Perspektif Teori Hukum Keadilan dan Represif serta Perspektif Hukum Nasional
Dasar
dan Tujuan filosofis pembuatan dan pengesahan undang-undang nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja yang lebih dikenal dengan (Omnibus Law) dapat dilihat
dalam konsideran dalam Undang-Undang
tersebut yakni untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia
dan mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sejalan
dengan hal diatas, berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan telah mengatur bahwa
Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara, dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis
negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Yang
dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Oleh
karenanya Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan muatannya tidak boleh
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang dasar NRI Tahun 1945 dan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi ; kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang
tepat, kesesuaian antara jenis,
hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan
rumusan dan keterbukaan.
Sedangkan
materi muatan dari Undang-Undang yang akan dibentuk harus mencerminkan
asas, pengayoman, kemanusiaan,
kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hukum dan/atau keseimbangan, keserasian,
dan keselarasan.
Yang
dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan
ketentraman masyarakat.
Yang
dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara.
Yang
dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
Dalam
pokok bahasan makalah ini, maka untuk menganalisa muatan yang terkandung dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Cipta Kerja khususnya klaster
ketenagakerjaan dalam persfektif Teori Keadilan, maka penulis menggunakan asas
muatan Perundang-undangan yakni asas pengayoman, asas keadilan dan asas
kepastian hukum dikaitkan dengan Teory keadilan.
Berdasarkan
Pasal 10 UU No.12 Tahun 2011, Materi muatan yang harus diatur dengan
Undang-Undang berisi :
1) pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2)
perintah
suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
3)
pengesahan
perjanjian internasional tertentu;
4)
tindak
lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5)
pemenuhan
kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Terkait Tindak lanjut
atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Asas
Pembuatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja diatur
dalam Pasal 2 yakni untuk pemerataan
hak, kepastian hukum, kemudahan berusaha, kebersamaan; dan kemandirian serta
dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam
undang-undang yang bersangkutan.
Sedangkan
tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja
terdapat didalam Pasal 3 yang salah
satunya adalah menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan, serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja;
Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, pembangunan hukum dilaksanakan untuk
mencapai misi mewujudkan bangsa yang berdaya saing dan masyarakat demokratis
berlandaskan hukum. Hal ini merupakan bagian dari 8 (delapan) misi pembangunan
nasional dalam rangka menggapai visi pembangunan nasional dalam kurun waktu
2005-2025, yaitu terwujudnya “ Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur
“.
Pembangunan hukum dengan misi
mewujudkan masyarakat demokratis yang berlandaskan hukum, diarahkan pada:
a) terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap
yang bersumber pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, yang mencakup pembangunan
materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, serta sarana dan prasarana
hukum;
b) terwujudnya masyarakat yang mempunyai kesadaran
dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum;
c)
terciptanya kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis.
Dijelaskan lebih lanjut dalam
RPJPN 2005-2025, bahwa pembangunan materi hukum diarahkan untuk melanjutkan
pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan perundang-undangan warisan
kolonial. Pembangunan materi hukum tersebut yang mencerminkan nilai-nilai
sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia serta mampu mendorong tumbuhnya
kreativitas dan melibatkan masyarakat untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional yang bersumber pada
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Walau pembangunan materi hukum
diarahkan untuk melanjutkan pembaruan produk hukum untuk menggantikan peraturan
perundang-undangan warisan colonial, agar materi hukum yang dibuat dapat
mencerminkan nilai-nilai sosial dan kepentingan masyarakat Indonesia, namun
kenyataannya pembuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah ( Legislatif dan
Executif ) masih jauh dari yang dicita-citakan yang termuat dalam RPJPN
2005-2025, sebagaimana penyusunan dan pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja, yang terkesan hanya merupakan kepentingan politik dan
kepentingan kekuasaan, bukan karena kepentingan masyarakat Indonesia, karena
pada kenyataannya walau mendapat penolakan dari hampir seluruh masyarakat
Indonesia, baik dari kalangan mahasiswa dan kalangan pekerja dengan melakukan
unuk rasa secara besar-besaran tetapi tidak mengurungkan niat pemerintah untuk
memberlakukannya, tetapi justru DPRRI mengesahkannya yang terkesan dipaksakan karena disahkan
dengan cara yang tidak biasa karena
waktupengesahannya dilakukan pada dini hari.
Berdasarkan naskah akademik
pembuatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang lebih
dikenal dengan Omnibus Law, diawali dari pidato Presiden Jokowi dalam pidato pelantikan di
hadapan Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tanggal 20 Oktober 2019
yang menyatakan cita-cita Indonesia Maju 2045 dengan tiga indikator, yaitu;
Pertama, pendapatan per kapita mencapai Rp320 (tiga ratus dua puluh) juta per
tahun; Kedua, Produk Domestik Bruto (PDB) nominal mencapai USD 7 (Tujuh)
Triliun atau setara dengan Rp98.000,- (Sembilan Puluh Delapan Ribu)
Triliun—dengan nilai tukar Rp14.000,- (Empat Belas Ribu) per USD; dan Ketiga,
tingkat kemiskinan mendekati nol. Mengawali langkah mewujudkan cita-cita 25
(dua puluh lima) tahun mendatang tersebut, Presiden menyebut lima pilar
pembangunan, salah satunya pemangkasan regulasi dan penyiapan Omnibus Law Cipta
Kerja.[20]
Berawal
dari pidato Presiden Jokowi diatas, selanjutnya pemerintah berpendapat salah
satu strategi pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan investasi adalah melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan
berusaha. Reformasi yang perlu dilakukan ditujukan untuk menyelesaikan hambatan
investasi, yakni panjangnya rantai birokrasi, peraturan yang tumpang tindih,
dan banyaknya regulasi yang tidak harmonis terutama dalam regulasi pusat dan
daerah (hyper-regulation). Oleh karena itu, diperlukan deregulasi terhadap
ketentuan mengenai perizinan berusaha, persyaratan investasi ketenagakerjaan,
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMK-M) termasuk koperasi, pengadaan lahan,
pengembangan kawasan ekonomi, pelaksanaan proyek pemerintah, serta ketentuan
mengenai administrasi pemerintahan dan pengenaan sanksi pidana yang diatur
dalam berbagai Undang-Undang.[21]
Berdasarkan hal
tersebut diatas, menurut pemerintah dalam hal proses deregulasi ini dilakukan
secara biasa (business asusual) yaitu dengan mengubah satu persatu
Undang-Undang, maka akan sulit untuk diselesaikan secara terintegrasi dalam
waktu cepat. Maka dari itu, diperlukan penerapan metode Omnibus Law, dengan
membentuk 1 (satu) Undang-Undang tematik yang mengubah berbagai ketentuan yang
diatur dalam berbagai undang-undang lainnya.[22]
Namun pada kenyataannya
alih-alih melakukan reformasi regulasi di bidang perizinan berusaha, untuk
menyelesaikan hambatan investasi, dengan memangkas panjangnya rantai birokrasi
yang terjadi selama ini, guna menyelesaikan peraturan yang tumpang tindih, dan
banyaknya regulasi yang tidak harmonis terutama dalam regulasi pusat dan daerah
(hyper-regulation), tetapi faktanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja khusunya pada klaster ketenagakerjaan justru lebih banyak memangkas
hak-hak pekerja dengan cara mengurangi yang telah diatur sebelumnya serta
menghilangkan yang ada menjadi tiada, serta membuat yang sudah pasti menjadi
tidak pasti, sehingga pembuatan dan
pengesahan undang-undang tersebut terkesan dikarenakan syarat dengan
kepentingan politik, kekuasaan dan kepentingan pengusaha.
Contoh Konkrit dari
penghilangan hak-hak pekerja dan menjadi ketidak pastian dalam hubungan kerja
dapat dipaparkan dari beberapa contoh sebagai berikut :
Dalam Pasal 59
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, telah diatur dengan
pasti bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang lebih dikenal dengan
nama Pekerja Kontrak, tentang waktu yang dapat dilaksanakan PKWT, dimana
waktunya terbatas untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang
1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, dengan demikian
PKWT hanya dapat dilaksanakan maksimal selama 3 (tiga) Tahun, maka PKWT yang
dilaksanakan melebihi dari waktu (3) Tahun demi hukum Hubungan Kerja menjadi
Perjanjian Waktu Tidak tertentu (PKWTT) yang lebih dikenal dengan Pekerja
Tetap. Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Perjanjian Kerja Waktu tertentu harus dibuat tertulis, bila
tidak dibuat tertulis, maka Perjanjian Kerja tersebut menjadi Perjanjian Kerja
Waktu Tidak (PKWTT) atau pekerja tetap, hal ini diatur sebelumnya guna proses
pembuktian, karena pada dasarnya bila terjadi Perselisihan maka pihak pekerja
adalah yang paling lemah didalam Proses Pembuktian, dengan demikian bila
Pengusaha membuat tertulis, maka pekerja mempunyai alat bukti, sedangkan bila
tidak dibuat tertulis dan Pengusaha tidak dapat membuktikan adanya perjanjian
secara tertulis maka dinyatakan sebagai PKWTT/Pekerja tetap, dalam hal ini PKWT berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
mempunyai Kepastian Hukum terhadap waktu pelaksanaan.
.
Tetapi didalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja ketentuan waktu yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tersebut serta konsekwensi hukum atau akibat Perjanjian Kerja yang dibuat tidak
tertulis tersebut justru dihilangkan, sehingga tidak ada lagi kepastian hukum
tentang Jenis-jenis Pekerjaan apa yang dapat dilaksanakan PKWT, dan akan sulit bagi pekerja membuktikan
bahwa adanya hubungan kerja ketika tidak dibuat secara tertulis apabila terjadi
perselisihan yang menyangkut hak pekerja dan kewajiban perusahaan diluar
daripada Pesangon, Contohnya Upah Kurang Bayar atau tidak dibayar sama sekali,
Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), Iuran Jaminan Pensiun (JP), Iuran Jaminan
Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS, sedangkan Implkasi lainnya adalah
sudah bisa dipastikan bahwa Pekerja yang dilakukan dengan PKWT tidak akan
pernah mempunyai Uang Pesangon, karena pada dasarnya Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) yang dilakukan oleh Pengusaha didalam masa tenggang waktu PKWT sedang berjalan
atau belum berakhir, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan
membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja, tanpa adanya Pesangon.
Dengan demikian walau dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tetap diatur adanya Pesangon, namun karena jenis-jenis Pekerjaan yang dapat dilaksanakan PKWT yang seolah melegalkan Out Sourcing / Kontrak dengan nama baru Pekerjaan alih daya yang dulunya ditentang oleh Para Aktivis Pekerja, maka Pekerja dengan system Perjanjian PKWT akan sulit untuk mendapatkan Uang Pesangon terhadap PKWT yang dilakukan tidak sebagaimana Pekerjaan yang seharusnya menjadi Objek PKWT.Oleh karenanya adanya opini yang mengatakan bahwa Pesangon Pekerja dalam Onibuslaw dihilangkan, bukanlah opini atau hoax melainkan adalah fakta nyata bagi pekerja dengan system PKWT.
Sedangkan terhadap Jenis Pekerjaan yang dapat diborongkan yang lebih dikenal Out Sourcing yang sebelumnya diatur dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sebelumnya hanya dibatasi pada 4 (empat) jenis pekerjaan yakni ;
a.
dilakukan
secara terpisah dari kegiatan utama;
b.
dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakan
kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Berdasarkan Peraturan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 Tentangsyarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, pekerjaan yang dapat diberikan pengerjaannya kepada perusahaan lain adalah :
a.
usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service);
b.
usaha
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c.
usaha
tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d.
usaha
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e.
usaha
penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
Namun dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan ini justru dihilangkan, implikasinya semua jenis
pekerjaan penunjang produksi dapat diserahkan oleh Perusahaan kepada Perusahaan
lain.
Penghilangan Pasal 89 UU No.13 Tahun 2003 dimana dalam pasal ini sebelumnya mengatur adanya upah Sektor yang merupakan Sektor Unggulan dari masing masing Daerah Provinsi maupun Kabupaten Kota yang sebelumnya menjadi Sarana Bagi Serikat pekerja dalam Memperjuangkan Upah Pada sektor yang bersangkutan karena harus disepakati Federasi Serikat Pekerja dengan Organisasi Pengusaha menjadi tidak ada lagi, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Jenis Sektor Unggulan yang biasanya dihuni oleh Perusahaan-Perusahaan Besar dengan Perusahaan-perusahaan yang berskala kecil.
Walau didalam pasal 90.A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja menetapkan bahwa adanya upah diatas minimum yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan Pekerja, hal ini merupakan mustahil terjadi, dikarenakan prinsip ekonomi yang dengan modal yang kecil mengharapkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Penambahan
Pasal 90.B dan dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan menghilangkan Pasal 91 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang justru
mengatur bahwa Upah Minimum dikecualikan terhadap Usaha Mikro dan Kecil, dan
upahnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan
pekerja, justru memperlebar ketidak
pastian hukum tentang ketentuan upah pekerja pada perusahaan yang berskala
kecil dan mikro, karena pada dasarnya setiap yang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya akan sulit menolak
upah yang ditawarkan oleh Pengusaha walau jauh dibawah Upah Minimum.
Padahal sebelumnya Upah yang didasarkan atas kesepakatan baik oleh Pekerja maupun Serikat Pekerja dengan Pengusaha atau Organisasi Pengusaha telah mengatur dalam Pasal 91 UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian Pengaturan Upah yang ada didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja justru memberikan ketidak pastian hukum serta tidak memberikan perlindungan hukum didalam system Pengupahan Pekerja didalam Perusahaan.
Perubahan Pasal 92 UU No.13 Tahun 2003 dimana dalam pasal ini sebelumnya diatur bahwa Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi, namun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tidak adalagi syarat yang harus diperhatikan, melainkan hanya didasarkan pada kemampuan perusahaan, maka jarang sekali ada Perusahaan yang mengatakan bahwa mampu dalam hal yang menyangkut dalam Pembayaran hak-hak pekerja.
Dengan demikian apa
yang diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan lebih menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi
pekerja, yang memberikan syarat sebagai Perusahaan yang wajib menjalankan
peraturan perundang-undangan termasuk upah minimum adalah memberi batasan bagi Pengusaha
yang mempekerjakan Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya
10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku
setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, dan membatasi bahwa
Peraturan Perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang diatur dalam
perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana
yang telah diuraikan diatas, menurut pandangan Aristoteles keadilan dibagi
kedalam dua macam keadilan, keadilan “distributief”
dan keadilan “commutatief”.
1) Keadilan
distributief ialah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya.
2) Keadilan
commutatief memberikan sama banyaknya
kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan
dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.
Menurut
John Rawls keadilan merupakan kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi
sosial (social institutions). Akan
tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau
menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Sedangkan
Hans Kelsen berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat
dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang
memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya, nilai-nilai keadilan
individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir
nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian
diperuntukan tiap individu.
Dari Uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Teori
keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada.
Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum. Baginya, keadilan
dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan. Membedakan hak
persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional memberi tiap
orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah
dilakukanya. Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan
“distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan distributief ialah keadilan
yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan
commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan
prestasinya.
Keadilan
dalam perspektif hukum nasional tertuju pada keadilan sosial menyangkut
kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu
harus menyisihkan kebebasan individunya untuk kepentingan Individu yang
lainnya. Keadilan didalam perspektif hukum nasional ini adalah keadilan yang
menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari
keadilan-keadilan individu. Keadilan ini lebih menitik beratkan keseimbangan
antara hak dan kewajiban.
Pembuatan
UU No 11 Tahun 2011 Tentang Cipta kerja dilakukan sebagaimana teori hukum represif adalah tatanan hukum tertentu
dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin
keadilan, apalagi keadilan substantif. Sebagaimana Menurut Nonet &
Selznick, kekuasaan pemerintah bersifat represif, jika kekuasaan tersebut tidak
memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah.
2. Dalam
Pembuatan dan Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja
Tidak Mencerminkan Keadilan karena tidak sebagaimana tujuan pembuatan hukum
sebagaimna yang dicita-citakan oleh Negara yakni demi keadilan dan
kesejahteraan Masyarakat Indonesia, baik berdasarkan Teory Hukum Keadilan Nasional maupun Teori hukum yang disampaikan
oleh para ahli yang dikemukakan diatas.
[1] Theo
Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan
sejarah, cetakan VIII, Yogyakarta:
Kanisius, 1995 hlm. 196.
[2] Carl Joachim Friedrich, Op. Cit, hlm. 24.
[3] L..J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya
Paramita, cetakan kedua puluh enam, 1996,hlm. 11-12.
[4] Carl Joachim
Friedrich, Op.Cit, hlm. 25.
[5] Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal
Konstitusi, Volume 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 135.
[6] Ibid, hlm. 139-140.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
[10] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm. 7.
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ibid., hlm. 14,
[14] Ibid, hlm.16
[15] Ibid
[16] Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundangan-undangan
[17] Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam
Mulia, 1985, hlm.71.
[18] Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua,
Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm. 50.
[19] Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang
Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali, 1982, hlm.83
[20] Naskah Akademik UU
Cipta Kerja Tanggal 2 April 2020.
[21] Ibid
[22] Ibid
[1] Imam Syaukani, A.Ahsin Thohari “ Dasar-Dasar Politik Hukum “ 2019,
Rajawali Pers Depok.hlm.82
[2] A.Hamid S. Attamimi,
Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, Ilmu
Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius,
2007.
[3] R.r.Rina Antasari, Telaah Terhadap Perkembangan Tipe Tatanan Hukum Di
Indonesia Perspektif Pemikiran Nonet-Selznick Menuju Hukum Yang Berkeadilan, (Jurnal Nurani, Volume .19, No.1 Juni 2019.Hlm.108-105
Komentar
Posting Komentar