FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLITIK HUKUM
DALAM PEMBENTUKAN UANDANG-UNDANG
Sesuai dengan tujuan para pendiri Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah mengamanatkan arah dan tujuan
penyelenggaraan pemerintahan adalah “ untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia”, sebagimana tertuang dalam pembukaan
(preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
merupakan wujud dari niat untuk
membentuk negara yang sejahtera, adil dan makmur.
Dengan demikian idealitas sistem hukum nasional itu pada dasarnya adalah dalam rangka membantu terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran masyarakat atau sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945 ;
1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2) Memajukan kesejahteraan umum;
3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perincian dan konteks praktis dari apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itu dapat dibaca pada pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi Negara Republik Indonesia tersebut, selain dapat ditemui pada peraturan perundang-undangan lain yang ada di bawahnya.
Hukum merupakan seperangkat aturan yang mengatur kehidupan manusia di masyarakat. Hukum tidak bekerja sendirian, tetapi membutuhkan studi ilmu lain supaya dapat mencapai tujuannya. Bekerjanya hukum selalu dipengaruhi oleh subsistem-subsistem lain, seperti; politik, sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya. Menurut teori Talcott Parsons, menjelaskan bahwa hukum adalah salah satu subsistem dalam sistem sosial yang sangat besar, subsistem tersebut adalah budaya, politik dan ekonomi. Tugas hukum menata keserasian dan gerak sinergis subsistem lainnya, termasuk politik.
Hubungan antara politik dan hukum sangat akrab, politik selalu melakukan interverensi dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga antara politik dan hukum mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh) dan politik diletakkan sebagai independent varable (variabel berpengaruh). Hal ini berarti, bahwa hukum yang merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh badan legeslatif, sebenarnya adalah kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Dengan demikian hukum terbentuk dan berubah sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat, bahkan hukumpun bisa mengubah masyarakat. Oleh karenanya, kehidupan masyarakat, tentunya sarat dengan kepentingan-kepentingan politik yang akan mempengaruhi pembuatan dan keputusan hukum.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum “ Pernyataan ini secara eksplisit mengisyaratkan bahwa hukum dalam Negara Indonesia secara normatif mempunyai kedudukan yang sangat mendasar dan tertinggi (supreme). Namun dalam realitas praktis terkadang idealitas itu tidak terealisasikan dengan baik, dan tergantung kepada tujuan yang akan dicapai oleh para penyelenggara Negara yang tidak terlepas dari kepentingan para elit politik dalam menentukan kebijakan Negara melalui proses pembuatan perundang-undangan, yang kadang kala justru mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku, misalnya yang pada akhir-akhir ini dalam pembuatan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang lebih dikenal dengan omnibus law, dimana dalam proses pembuatan dan pengesahannya mendapatkan penolakan dari berbagai pihak dan hampir dari seluruh daerah Indonesia, karena Undang-Undang tersebut dirasa oleh masyarakat tidak mencerminkan aspirasi mereka khusunya kaum pekerja serta dinilai tidak memberikan pengayoman, kemanfaatan bagi masyarakat dan disisi lain, masyarakat menilai proses dan prosedur pembuatannya tidak dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Materi muatannya tidak mencerminkan asas sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lalu, sejauh manakah politik mempengaruhi bekerjanya hukum, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi politik hukum dalam pembentukan undang-undang ? 2.
Politik hukum berasal dari kata politik dan hukum, politik artinya usaha menggapai kehidupan yang lebih baik, atau usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima oleh masyarakat untuk membawa ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Sedangkan hukum diartikan sebagai aturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan mengandung sanksi apabila dilanggar. Politik hukum berarti kebijakan negara untuk mencapai tujuannya melalui pembentukan perundang-undangan. Status hukum yang berarti undang-undang berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan negara. Oleh karena itu negara berupaya membuat dan menetapkan perundang-perundangan supaya tujuan negara tercapai. Negara di sini adalah lembaga legeslatif yang berwenang menetapkan perundang-undangan setelah disetujui oleh lembaga eksekutif yakni Presiden, baik yang usulannya dari DPR RI maupun dari Presiden.
Politik hukum adalah “legal
policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik
dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dibuat dan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.
Pengertian politik hukum, menurut beberapa ahli hukum dan politik, yakni :
a. Menurut Mahfud MD,
menjelaskan bahwa bahwa politik hukum diartikan sebagai legal policy (kebijakan
hukum) yang akan atau telah dilaksanakan oleh pemerintah. Politik hukum ini
mencakup pembuatan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap
materi-materi hukum agar dapat disesuaikan dengan kebutuhan, dan pelaksanaan
ketentuan hukum yang sudah ada, termasuk penegakan fungsi lembaga dan pembinaan
para penegak hukum.
b. Menurut Soedarto, menjelaskan bahwa politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.10 Pengertian ini dapat dimaknai bahwa politik hukum merupakan upaya negara untuk mewujudkan hukum yang dijiwai dengan iktikad baik dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang tengah berlangsung. Ini berarti menjadikan hukum sebagai kebutuhan masyarakat yang sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan negara, masyarakat dan bangsa.
c. Sunaryati Hartono
berpendapat bahwa politik hukum adalah sebuah alat (tool) atau sarana
dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum
nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan
cita-cita bangsa Indonesia. [9] Pendapat
ini menjelaskan bahwa politik hukum dapat digunakan sebagai alat atau bahan
untuk membuat sistem hukum nasional yang dikendaki guna mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, yakni nilai persatuan, keadilan sosial, kemanusiaan, kerakyatan dan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
f. Menurut Padmo Wahyono, mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Kata kebijakan di atas berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terperinci dan mendasar serta berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri[10].
Dari pendapat para ahli hukum diatas, politik hukum secara singkat berarti kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak.
Faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan hukum internasional. Politik hukum di Indonesia berbeda dengan politik hukum negara yang lain. Perbedaan politik hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan Politik Hukum Nasional .[1] Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang kesejarahan, pandangan dunia (world-view), sosio-kultural, dan keinginan politik (political will) dari masing-masing pemerintah.[2]
Dengan demikian politik
hukum perlu disesuaikan dengan jiwa bangsa (volkgeist) rakyat Indonesia,
karena antara hukum dan watak atau karakter suatu bangsa terdapat hubungan
organik. Hukum adalah cerminan dari volkgeist, karena itu harus dicari
dan ditemukan melalui hukum yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu tugas
penting hukum, selain menetapkan aturan dalam bentuk perundang-undangan, juga
menggali mutiara nilai hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini sesuai dengan
teori Savigny yang menkonstruksi hukum sebagai nilai yang hidup di masyarakat,
sebagai jiwa bangsa (volkgeist), di tingkat lokal. [3] Teori ini
digunakan dalam pembahasan tujuan politik hukum di Indonesia.
Tujuan politik hukum adalah
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat UU, tetapi juga pengadilan
yang menetapkan UU dan juga kepada para penyelenggara pelaksana putusan
pengadilan. Pembentukan kebijakan hukum didasarkan pada cita hukum, cita-cita
dan tujuan negara yang termaktub di dalam konstitusi. [4]
Manfaat studi politik hukum
di Indonesia yakni dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana yang tertera
di dalam landasan ideologi negara yaitu Pancasila dan UUD NRI 1945, karena
politik hukum merupakan alat dan sarana yang digunakan oleh pemerintah untuk
membentuk sistem hukum nasional. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahfud MD yang
menjelaskan bahwa politik hukum merupakan legal policy untuk
pemberlakuan hukum sehingga dapat mencapai tujuan negara. [5] Dalam pembentukan suatu
norma hukum, termasuk di dalamnya adalah undang-undang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat merumuskan politik
hukum di dalamya, Faktor-faktor yang mempengaruhi politik hukum
dalam pembuatan Undang-Undang tersebut antara
lain :[6]
1. Politik
Hukum Karena Faktor Filosofis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku
secara filosofis apabila norma hukum itu
memang
bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu negara. Seperti
dalam pandangan Hans Kelsen mengenai ”gerund-norm”
atau dalam pandangan Hans Nawiasky
tentang
"staatsfundamentalnorm", pada setiap negara selalu ditentukan
adanya nilai-nilai dasar
atau nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber dari Segala
sumber nilai luhur
dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan. Untuk
hal ini, nilai-nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila. Di dalam rumusan kelima sila
Pancasila terkandung
nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas
kebangsaan dalam ikatan bhineka-tunggal-ika, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan
bagi segenap rakyat Indonesia. Tidak satupun dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut yang
boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam berbagai
kemungkinan bentuk peraturan perundang-undangan dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Politik Hukum
Karena Faktor Juridis
Keberlakuan juridis adalah keberlakuan
norma hukum dengan daya ikatnya untuk
umum
sesuatu dogma. yang dilihat dari pertimbangan bersifat teknis juridis. Secara
juridis, suatu norma hukum itu dikatakan
berlaku apabila norma hukum tersebut
mempunyai criteria sebagai berikut :
a. ditetapkan
sebagai norma hukum berdasarkan norma hukum yang lebih superior atau yang lebih tinggi.
b. ditetapkan
mengikat atau berlaku karena menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dengan akibatnya.
c. ditetapkan sebagai norma hukum menurut
prosedur pembentukan hukum yang berlaku.
d. ditetapkan
sebagai norma hukum oleh lembaga yang
memang
berwewenang untuk itu. Jika kriteria tersebut telah terpenuhi sebagaimana mestinya, maka norma hukum yang
bersangkutan dapat dikatakan memang berlaku secara juridis.
3. Politik Hukum Karena
Faktor Politis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku
secara politis apabila pemberlakuannya itu
memang
didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang nyata (riele
machtsfactoren). Meskipun
norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula dengan cita-cita filosofis
negara, dan memiliki landasan juridis yang sangat kuat, tetapi tanpa dukungan kekuatan politik
yang mencukupi di parlemen, norma hukum yang
bersangkutan
tidak mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum. Dengan perkataan lain,
keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang
pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu norma hukum semata-mata dari sudut
pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum telah mendapatkan dukungan kekuasaan,
apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut
dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang
bersangkutan dari segi politik.
4. Politik Hukum Karena
Faktor Sosiologis
Pandangan sosiologis mengenai keberlakuan
ini cenderung lebih mengutamakan
pendekatan
yang empiris dengan mengutamakan beberapa pilihan kriteria, yaitu (i) kriteria pengakuan (recognition theory),
(ii) kriteria penerimaan (reception theory), atau (iii) kriteria faktisitas hukum.
- Kriteria
pengakuan (principle
of recognition) menyangkut sejauh mana subjek hukum yang diatur memang mengakui
keberadaan dan daya ikat serta kewajibannya untuk menundukkan
diri terhadap norma hukum yang bersangkutan. Jika subjek hukum yang bersangkutan tidak merasa terikat,
maka secara sosiologis norma hukum yang bersangkutan tidak dapat dikatakan berlaku
baginya.
- Kriteria
penerimaan sebagai kriteria kedua (principle of reception) pada pokoknya berkenaan dengan kesadaran
masyarakat yang bersangkutan untuk menerima daya-atur, daya-ikat, dan
daya-paksa norma hukum tersebut baginya.
- Sedangkan
kriteria ketiga menekankan pada kenyataan faktual (faktisitas hukum), yaitu sejauh mana norma hukum itu
sendiri memang sungguh-sungguh berlaku efektif dalam kehidupan nyata masyarakat.
Meskipun suatu norma hukum secara juridis formal memang berlaku, diakui (recognized),
dan diterima (received) oleh masyarakat sebagai sesuatu yang memang ada (exist) dan
berlaku (valid), tetapi dalam kenyataan praktiknya sama sekali tidak efektif, berarti dalam faktanya
norma hukum itu tidak berlaku. Oleh karena itu, suatu norma hukum baru dapat berlaku secara
sosiologis apabila norma dimaksud memang berlaku menurut
salah satu kriteria tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Syaukani, A.Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Depok : Rajawali Pers, 2019.
Bernard L. Tanya, Ed. All, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Yogyakarta, Genta Publishing, 2010
Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2009.
M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES,
1998
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung,
Alumni, 1986
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu
Sistem Hukum Nasional, Bandung, Alumni, 1991
Padmo Wahyono, Menyelisik Proses Terbentuknya
Perundang-Undangan, Forum Keadilan, No. 29 April, 1991.
C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu System Hukum Nasional, Bandung, Alumni, 1991
Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2006.
Sudikno
Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.
Islamiyati, Dewi Hendrawati, Analisis Politik Hukum Dan Implementasinya Jurnal Hukum Law, Development & Justice Review, Mei 2019. Vol 2, No. (2019)
Andi Safriani, Telaah terhadap hubungan Hukum dan
kekuasaan; (Jurnal Hukum “ Jurisprudentie “ Volume 4 Nomor 2 Desember
2017).
Komentar
Posting Komentar