HUKUM PIDANA
A. URGENSI
HUKUM PIDANA DALAM MASYARAKAT
Perubahan dan kemajuan yang dialami Indonesia selama Orde Baru (1966-1998)
menimbulkan beberapa aspek negatif, antara lain ponyalahgunaan wewenang,
pe1ecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian
hukuni bagi masyarakat, serta terjadinya praktik-praktik negatif dalam proses
peradilan. Keadaan demikian mendorong
Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor : X/MPR/1998, antara lain pada
Bab IV huruf C, butir 2 huruf c, sebagai berikut :
"Menegakkan supremasi hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hal tersebut dimaksudkan untuk merealisasikan negara hukum sebagaimana
pada penjelasan resmi Undang-Undang Dasar 1945 sehingga hukum berperan sebagai
pengatur kehidupan nasional. Upaya mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah
karena tidak hanya sistem hukum nasional yang harus dan ditertibkan, namun juga
aparat negara terutama aparat penegak
hukumnya sehingga diperoleh aparat yang bersih, bebas dari korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Jika hal di atas dapat terwujud, akan tercapai
sikap perilaku seluruh aparat dan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum.
B.
PENGERTIAN
HUKUM PIDANA
Mr. Tirtaamidjaja menjelaskan hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil sebagai berikut :
1) Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan
hukum yang menentukan pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi
pelanggaran pidana untuk dapat dihukum; menunjukkan orang yang dapat dihukum
dan menetapkan hukuman atas pelanggaran
pidana.
2) Hukum pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum
pidana materiil terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu,
atau dengan kata lain, mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan
sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan
hakim."
Pada hakikatnya, hukum pidana
materiil berisi larangan atau perintah yang, jika tidak dipatuhi diancam dengan sanksi. Adapun
hukum pidana formil adalah aturan hukum
yang mengatur cara menegakkan hukum pidana materiil. Sclain pembagian hukum
pidana di atas, Prof. Simons membagi hukum pidana atas hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang
berlaku atau hukum pidana positif, yang
disebut ius poenale.
Hukum pidana dalam arti subjektif adalah hak dari Negara untuk mengaitkan pelanggaran terhadap suatu
peraturan dengan hukuman, yang
disebut ius poeniendi.
Ada juga pembagian hukum pidana atas hukum pidana umum dan hukum
Pidana khusus. Hukum pidana umum dibuat
dan berlaku untuk semua orang, sedangkan
hukum pidana khusus dibuat untuk hal atau orang tertentu. Hukum pidana
khusus tersebut akhir-akhir ini di Indonesia cukup banyak, antara lain :
a. Tindak Pidana Korupsi;
b. Tindak Pi dana Ekonomi;
c. Tindak Pidana Lingkungan Hidup;
d. Tindak Pidana Imigrasi;
e. Tindak Pidana terhadap Hak atas Kekayaan lntelektual;
f. Tindak Pidana terhadap Perairan dan Perikanan;
g. Tindak Pidana ten tang Narkotika;
h. Tindak Pi dana Pasar Modal;
i.
Tindak Pidana Perbankan;
j.
Tindak Pidana Kepabeanan;
k. Tindak Pidana tentang Kehutanan.
l. Tindak pidana yang tumbuh,
sedemikian banyaknya sehingga cenderung ke arah sektoral, seolah-olah terlepas
dari sistem.
C.
TUJUAN
HUKUM PIDANA
Terdapat berbagai teori yang membahas alasan-alasan yang
membenarkan (justification) penjatuhan
hukuman (sanksi). Di antaranya adalah teori absolut dan teori relatif.
1. Teori Absolut (Vergeldingstheorie) Menurut teori ini, hukuman itu dijatuhkan
sebagai pembalasan terhadap para
pelaku karena telah melakukan kejahatan
yang mengakibatkan kesengsara, terhadap orang lain atau anggota masyarakat.
2. Teori Relatif (Doeltheorie)
Teori ini
dilandasi oleh tujuan (doel) sebagai berikut.
a.
Menjerakan
Dengan penjatuhan hukuman, diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi
jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat
umum mengetahui bahwa jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana,
mereka akan mengalami hukuman yang serupa ( generalis preventie ).
b.
Memperbaiki pribadi terpidana
Berdasarkan
perlakuan dan pendidikan yang diberikan selama menjalankan hukuman, terpidana
merasa menyesal sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali
kepada masyarakat sebagai orang yang berguna.
c.
Membinasakan atau membuat terpidana tidak berdaya.
Membinasakan berarti menjatuhkan hukuman mati, sedangkan terpidana
tidak berdaya dilakukan dengan menjatuhkan hukuman hidup.
D.
INTERPRETASI
(INTERPRETATION)
1. Metode Gramatika atau tata bahasa
3. Metode Historis
4. Metode Teleologis
5. Metode Analogi
6. Metode Interpretasi Autentik ( telah diatur dalam UU BAB IX buku ke 1 KUHP pasal
Interpretasi secara umum diartikan dengan
"penafsiran", yang menerangkan makna atau arti suatu kata atau suatu
rumusan dalam undang-undang.
Dalam
menginterpretasikan perundang-undangan dikenal beberapa metode sebagai berikut:
Kata dalam UU ditafsirkan, berdasarkan bahasa
sehari-hari
2. Metode sistematika
Perundangan merupakan sistem, kurang jelas dicari UU
lain, perundang-undangan
suatu negara satu kesatuan.
Menelusuri sejarah pembentukan UU, utamanya
pembahasannya pada saat
pembentukan.
Teliti maksud pembentukan UU dan keadaan masyarakat
pada saat pembentukannya
untuk mengetahui kegunaannya.
Menggunakan logika/pemikiran (menimbulakan
ketidakpastian) bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP, karena dapat
menimbulkan ketidakpastian dengan
memperluas rumusan suatu delik.
6. Metode Interpretasi Autentik ( telah diatur dalam UU BAB IX buku ke 1 KUHP pasal
86- 103), apabila ada dalam UU, metode diatas tidak perlu
digunakan
DELIK
A. PENGERTIAN DELIK
B. PENGERTIAN UNSUR-UNSUR DELIK
Kata "delik" berasal dati bahasa
Latin, yakni delictum. Dalam bahasa Jerman disebut delict, dalam bahasa Prancis disebut delit,
dan-dalam bahasa Belanda disebut delict.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti
“ delik “ diberi batasan ,
sebagai berikut :
“ Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan
pelanggararan terhadap undang-undang, tindak
pidana.”
Menurut Prof Mr. Van der Hoeven, rumusan tersebut
tidak tepat karena yang dapat dihukum bukan perbuatannya tetapi
manusianya.
Prof Moeljatno memakai istilah "perbuatan pidana" untuk kata
"delik". beliau, kata "tindak" lebih sempit cakupannya
daripada "perbuatan". "tindak" tidak menunjukkan pada hal
yang abstrak seperti perbuatan, tetapi menyatakan keadaan yang konkret.
E. Utrecht memakai istilah
"peristiwa pidana"karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana. Adapun
Mr. Tirtaamidjaja menggunakan istilah
"pelanggaran pidana" untuk kata "delik".
Keberatan Prof. Mr. van der Hoeven tersebut
sesungguhnya kurang beralasan bila diperhatikan Pasal 1 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berbunyi:
"Tiada
suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam
undang:-undang yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan."
Dalam hal ini, tepat
yang dikatakan van Hatturn bahwa perbuatan dan orang yang melakukannya sama
sekali tidak dapat dipisahkan.
Dalam ilmu hukum pidana dikenal delik formil dan delik materiil. Yang
dimaksud dengan delik formil adalah
delik yang perumusannya menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana oleh undang-undang " di sini rumusan dari perbuatan
jelas. Misalnya Pasal 362 tentang pencurian.
Adapun delik materiil adalah
delik yang perumusannya menitik beratkan pada
akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. kata
lain, hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan. Misalnya Pasal 338 tentang
pembunuhan.
B. PENGERTIAN UNSUR-UNSUR DELIK
Contoh "hakikat
delik ", pada delik pencurian:
"Barang siapa mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain dengan
maksud hendak memilikinya dengan melawan hukum, dihukum karena bersalah tentang pencurian ...
dan seterusnya."
Dari
ketentuan di atas, unsur-unsur pencurian adalah :
1) barang siapa;
2) mengambil;
3) sesuatu barang;
4) barang itu seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
5) dengan maksud memilikinya dengan melawan hukum.
C. UNSUR-UNSUR
DELIK ,BERDASARKAN ANALISIS (URAIAN)
Menurut doktrin,
unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif. Terhadap
unsur-unsur tersebut dapat diutarakan sebagai berikut:
1. Unsur
Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yahg berasal dari dalam diri pelaku. Asas
hukum pidana menyatakan "tidak ada
hukuman kalau tidak ada kesalahan" (An act does not make a person guilty unless the mind
is guilty or actus non fadt reum nisi mens sit rea): Kesalahan yang
dimaksud di sini adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opzet/dolus) dan
kealpaan (negligence or schuld). Pada umumnya para pakar telah
menyetujui bahwa "kesengajaan"
tcrdiri atas 3 (tiga) bentuk, yakni :
1) kesengajaan sebagai maksud (oogmerk);
2) kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);
3) kesengajaan dengan keinsafan akan kemungkinan (dolus evantualis).
Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari kesengajaan.
Kealpaan terdiri atas' 2 (dua) bentuk, yakni :
1.
tak berhati-hati;
2.
dapat menduga akibat perbuatan
itu.
2.
Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar diri
pelaku yang terdiri atas:
a.
Perbuatan
manusia, berupa:
1)
act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
2) omission, yakni
perbuatan pasif atau perbuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau
membiarkan.
b. Akibat (result) perbuatan
manusia ;
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan
yang dipertahankan oleh hukum, misalnya badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan, dan sebagainya.
c.
Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:
1)
keadaan pada saat perbuatan
dilakukan;
2)
keadaan setelah perbuatan
dilakukan.
d.
Sifat dapat dihukum dan sifat
melawan hukum.
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila
perbiatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan
perintah.
Semua unsur delik tersebut merupakan satu kesatuan. Salah
satu unsur tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan pengadilan.
D. PENDAPAT PAKAR ATAS UNSUR-UNSUR DELIK
Menurut Prof. Satochid
Kartanegara, unsur delik terdiri atas unsur objek dan unsur subjektif.
Unsur
yang objektif adalah unsur yang terdapat di luar manusia, yaitu berupa:
a. suatu tindakan,
b. suatu akibat, dan
c. keadaan (omstandigheid).
Kesemuanya itu dilarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan yang dapat
berupa:
a.
Kemampuan dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid);
b.
Kesalahan (sehuld).
Menurut Prof.
Moeljatno, tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas uns- unsur lahir, oleh
karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
adalah suatu kejadian dalam alam lahir. Di samping kelakuan dan akibat untuk
adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya ihwal atau keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan.
Menurut Lamintang, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur
subjektif dan unsur objektif. Selanjutnya Lamintang menyatakan sebagai berikut.
"Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur yang
melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung
di dalam hatinya.
Adapun yang dimaksud dengan
unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan ketika
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan."
Unsur-unsur subjektif
dari suatu tindakan itu adalah sebagai berikut. Kesengajaan atau
ketidaksengajaan (dolus atau culpa). Maksud atau voornemen pada
suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat
(1) KUHP. Berbagai maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.
Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad, seperti yang
terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
Perasaan takut seperti
yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana' adalah sebagai berikut.
Sifat melawan hukum
atau wederrechtelijkheid. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan
sebagai seorang pegawai negeri dalam kejahatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut
Pasal 398 KUHP. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
KESENGAJAAN ATAU DOLUS
A. PENGERTIAN
KESENGAJAAN
Dalam
Crimineel Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tahun 1809
dicantumkan:
"Kesengajaan adalah
kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang
atau diperintahkan oleh undangundang."
Dalam
Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu mengajukan Crimineel
Wetboektabun 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
tahun 1915), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar
berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting
van den wil op een bepaald misdrijf).
Mengenai MvT tersebut, Prof.
Satochid Kartanegara mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan opzet willenS
en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah :
"Seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta
harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu.
Beberapa
pakar mernmuskan de wil sebagai "keinginan, kemauan, atau
kehendak". Dengan demikian, perbuatan mernpakan pelaksanaan dari kehendak.
Kehendak (de wi/) dapat ditujukan terhadap:
a.
perbuatan yang dilarang;
b.
akibat yang dilarang.
Dahulu dikenal dolus malus yang mengartikan
kesengajaan (opzet) sebagai perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku
menginsafi bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam hukuman.
B.
TEORI TENTANG
PENGERTIAN KESENGAJAAN
Tentang pengertian kesengajaan,
dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) teori sebagai berikut :
1. Teori Kehendak (Wllstheorie)
Teori ini dikemukakan oleh von Hippel dalam bukunya
Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit
terbitan tahun 1903. Menurut von Hippel, kesengajaan kehendak
membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu.
Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi dari tindakan tersebut.
Contoh:
A mengarahkan pistol
kepada B;
A menembak mati B;
A adalah sengaja
apabila A benar-benar menghendaki kematian B.
2. Teori Membayangkan (Voorstellingstheorie)
Teori ini diutarakan
Frank dalam bukunya Festschrift Gieszen tahun 1907, Teori ini mengemukakan bahwa manusia tidak
mungkin dapat menghendaki suatu akibat;
manusia hanya dapat mengingini, meingharapkan atau membayangkan (voorstellen)
kemungkinan adanya suatu akibat. Adalah "sengaja" apabila suatu
akibat yang ditimbulkan dari suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud dari
tindakan itu. Oleh karena itu, tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah
dibuatnya.
Contoh:
A membayangkan kematian
musuhnya B;
Agar dapat
merealisasikan bayangan tersebut, A membeli sepucuk pistol. Pistol tersebut
kemudian diarahkan kepada B dan ditembakkan sehingga B jatuh, kemudian mati.
C.
TEORI TENTANG KEHENDAK
Berkenaan dengan kehendak, para ahli filsafat mempermasalahkan
tentang kebebasan manusia dalam menentukan kehendaknya sehingga muncul dua
ajaran, yakni sebagai berikut.
1. Determinisme
Menuntt aliran ini, manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia
melakukan suatu perbuatan didorong oleh beberapa hal, baik yang berasal dari
sanubari maupun dari luar dirinya. Seseorang melakukan perbuatan karena
didorong oleh bakat. Hal ini dianut oleh mazhab antropologi. Kemudian
ditambahkan oleh mazhab sosiologi berupa dorongan dari masalah-masalah yang ada
dalam masyarakat, misalnya kemiskinan,
perasaan lapar, dan scbagainya. Selain itu, didorong oleh keadaan lingkungan (milieu),
misalnya pergaulan dengan orang jahat, kepadatan penduduk, dan perumahan
yang buruk. Demikianlah menurut mazhab
ini, manusia tidak mempunyai kehendak bebas (free will).
2.
Indeterminisme
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas mazhab determinisme. Menurut
aliran ini, walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan dipengarihi oleh bakat
dan milieu, manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas. Aliran
determinisme merupakan hasil dari lapangan ilmu pengetahuan yang dibuktikan
para ahli antropologi, fisiologi, dan sosiologi. Adapun aliran indeterminisme
belum dibuktikan secara ilmiah. Namun, aliran determinisme tidak dapat
diterapkan dalam hukum pidana karena akan menimbulkan kesulitan dalam hal
"pertanggungjawaban". Kemudian, muncul Determinisme Modern yang
mengutarakan bahwa manusia adalah anggota masyarakat. Sebagai anggota
masyarakat, apabila melanggar ketertiban umum, ia bertanggung jawab atas
perbuatannya. Hal ini dianut aliran hukum pidana Sosiologis, walaupun beberapa
pakar hukum pidana menyangkal dan berpendapat bahwa hal tersebut terletak di
bidang tata susila.
D.
BENTUK-BENTUK KESENGAJAAN (OPZET OR INTENTION)
Secara umum, para pakar hukum pidana telah menerima adanya 3
(tiga) bentuk kesengajaan (opzet), yakni :
a. kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk);
b. kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);
c. kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).
1)
Kesengajaan
sebagai Maksud
Agar dibedakan antara
"maksud" (oogmerk) dengan "motif ”. Sehari-hari, motif
diidentikkan dengan tujuan. Agar tidak timbul keragu-raguan, diberikan contoh
sebagai berikut.
A bermaksud membunuh B
yang menyebabkan ayahnya meninggal.
A menembak B dan B
meninggal.
Pada contoh di atas, dorongan untuk membalas kematian ayahnya
disebut dengan motif. Adapun "maksud", adalah kehendak A untuk melakukan perbuatan atau
mcncapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman pidana,
dalam hal ini menghilangkan nyawa B. Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti.
2) Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti.
Si pelaku (doer or dader)mengetahui
pasti atau yakin benar bahwa selain akibat dimaksud, akan terjadi suatu akibat
lain. Si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan
timbul akibat lain.
Prof. Satoehid
Kartanegara, memberi eontoh sebagai berikut.
A berkehendak untuk membunuh B. Dengan membawa senjata api, A
menuju rumah B. Akan tetapi, ternyata setelah sampai di rumah B, C berdiri di
depan B. Disebabkan rasa marah, walaupun ia tahu bahwa C yang berdiri di depan
B, A toh melepaskan tembakan. Peluru yang ditembakkan oleh A pertama-tama
mengenai C dan kemudian B, hingga C dan B mati. Dalam hal ini, opzet A terhadap
B adalah kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), sedang terhadap C adalah
kesengajaan dengan keinsafan pasti.
3)
Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus Eventualis)
Kesengajaan ini juga
disebut "kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan bahwa seseorang
melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku.
menyadari bahwa mungkin akan akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh
undang-undang.
E.
KESENGAJAAN MENURUT
DOKTRIN
Secara Hmu
pengetahuan (doktrin), kesengajaan sebagai unsur delik bertalian dengan hal-hal
sebagai berikut.
a. Kesengajaan secara
umum, yang oleh para pakar disebut dolus generalis (opzet umum).
b.
Adanya hal-hal di luar
perhitungan.
c. Timbulnya kekeliruan (error
or dwaling).
Ketiga hal di atas perlu dicermati dalam memahami makna kesengajaan.
1)
Dolus Generalis
Yang dimaksud dengan dolus generalis adalah
dolus yang ditujukan secara umum, dalam arti tidak ditujukan kepada
sasaran tertentu. Prof. Satochid Kartanegara menyebut dolus generalis dengan
"opzet yang tidak terbatas" dan memberi contoh sebagai berikut
:
a) Seseorang
memasukkan· racun dalam pusat atau mata air leding dengan maksud
agar setiap orang yang minum air leding itu mati.
agar setiap orang yang minum air leding itu mati.
b) Seseorang
melempar granat di dalampasar atau tempat umum lainnya, dengan
maksud agar setiap orang yang berada di pasar itu terbunuh.
maksud agar setiap orang yang berada di pasar itu terbunuh.
Mr.
H.B. Vos mengutarakan penjelasan dolus generalis sebagai berikut. Adalah
tidak perlu dibicarakan bila akibat perbuatan merupakan sesuatu yang tidak
tertentu, misalnya meracun sumber air atau melempar granat tangan di
tengah-tengah umum. Dalam peristiwa yang demikian itu, yaitu peristiwa dolus
generalis, opzet si pelaku adalah umum, dan akibatnya adalah sedikit banyak, tidak tertentu. Suatu
contoh yang benar-benar tidak tertentu adalah opzet untuk membunuh
dengan memasukkan racun ke dalam permen cokelat dalam perusahaan permen
cokelat, hanya atas dasar nafsu sensasi membunuh orang dengan korban tak
tertentu.
2)
Adanya Hal-Hal di Luar
Perhitungan (Ahheratio Ictus)
Prof. Satochid Kartanegara
mengutarakan contoh sebagai berikut. "A bermaksud membunuh B dengan
menggunakan sepucuk senjata. Setelah ditembakkanke arah B, temyata peluru tidak
mengenai B, akan tetapi mengenai benda keras lalu mental mengenai C sehingga C
mati karenanya."
Dalam hal tersebut, segala akibat yang timbul dari perbuatan yang
merupakan perbuatan terlarang dan
diancam hukuman oleh undang-undang dipertangungjawabkan
oleh pelaku. Paham ini disebut versasi'in relicta.
Mr. H.B. Vos menjelaskan hal tersebut sebagai berikut. Mengenai error
in objecto, kita membedakannya dengan abberatio ictus.
Disini, bukan meleset atau keliru (dwaling), akan tetapi
menyasar (afdwaling) misalnya, orang menembak A, tetapi peluru mengenai
B. Dalam hal ini, hanya ada maksud membunuh A dan kesalahan (schuld) terhada
B.
3)
Timbulnya
Kekeliruan (Error or Dwaling)
Istilah dwaling berasal dari bahasa Belanda yang oleh para pakar
Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah, antara lain kesalah pahaman
(prof. Satochi Kartanegara, PAF Lamintang), salah kira (E. Utrecht), dan
kekeliruan (Subekti) Oalam kamus M.E. Tair dan Mr. van der Tas, kata dwaling
diartikan dengan "kesesatan" yang artinya menyimpang dari
kebenaran dan bersinonim dengan kata "kekeliruan". Prof. Mr. W.F.C.
van Hattum mengutarakan adanya 3 (tiga) bentuk dwaling yaitu :
1)
dwaling
mengenai suatu unsur yang
disebut dalam rumusan delik,
2)
dwaling mengenai
norma hukum pidana, dan
3)
dwaling mengenai
dasar-dasar yang meniadakan hukuman.
ad. 1) Dawling mengenai suatu unsur yang
disebut dalam rumusan delik Untuk menjelaskan hal ini, Hazewinkel-Suringa
memberi contoh sebagai berikut:
a) seseorang
telah melakukan perlawanan terhadap seorang pegawai negeri. Ia mengira bahwa
pegawai negeri itu adalah seorang penjaga pintu. Terhadap orang tersebut tidak
dapat diberlakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 212 KUHP;
b) barang
siapa mengambil suatu barang karena mengira bahwa barang tersebut tidak menjadi
milik siapa pun atau mengira merupakan suatu res nullius, ia tidak dapat
dipersalahkan telah melakukan pencurian;
c) seseorang
pada waktu turun dari sebuah kereta api, karena kekeliruan telah membawa koper
kepunyaan orang lain, maka ia, tidak dapat dipersalahkan telah melakukan
pencurian.
Prof. Satochid Kartanegara mengutarakan 2 (dua)
jenis error, yaitu
a) error in objecto;
b) error in persona.
Se1anjutnya, diutarakan bahwa kadang-kadang error in objecto dapat
menjadi error in persona. Contohnya sebagai berikut.
A bermaksud membunuh B. Karena A takut
melaksanakan maksudnya dengan terang-terangan, ia pertama-tama menyelidiki
gerak-gerik B dan dapatlah diketahui bahwa B tiap malam jam 20.00 pulang dari
perusahaannya menuju rumahnya melalui jalan yang gelap. Pada suatu malam, A
berjaga-jaga di balik pohon di jalan gelap tadi yang akan dilalui B. Tepat pada
jam 20.00, A mendengar ada orang datang. A mengira bahwa orang yang datang itu
adalah B. Setelah orang itu datang
mendekat, A keluar dari persembunyiannya dan selanjutnya membunuh orang itu.
Akan tetapi, temyata orang yang dibunuhnya itu bukan B, tetapi C yang bukan
menjadi tujuan A. Pada kejadian di atas, jika yang dibunuh adalah B, A
dipersalahkan melakukan pembunuhan berencana. Akan tetapi, karena ternyata yang
dibunuh adalah C, A dipersalahkan melakukan pembunuhan, yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.
ad. 2)
Dwaling mengenai norma hukum pidana Para pakar berpendapat bahwa
ketidaktahuan terhadap suatu peraturan merupakan suatu culpa. Oleh
karena itu, dwaling mengenai norma hukum pidana, dalam hal kejahatan
tidak ditemui, tetapi dalam hal pelanggaran sering ditemui. Van Hattum
mengutarakan bahwa apabila pelaku benar-benar tidak mengetahui norma hukum
pidana, ia dapat dianggap culpa dan
jika pelaku memang benar terbukti culpa, ia tidak dapat dipersalahkan.
Pendapat van Hattum tersebut tampaknya sulit dimengerti sehubungan dengan asas
bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui norma hukum pidana. Lagi pula,
perbuatan si pelaku dapat terlebih dahulu diformulasikan terhadap norma hukum
pidana sehingga dari perbuatan pelaku tersebut dapat terungkap apakah ia
berbuat dengan sengaja atau culpa. Berdasarkan kenyataan, memang sering
terjadi error terhadap pelanggaran, misalnya peraturan lalu lintas. Error
tersebut sering dilakukan orang yang baru datang ke suatu kota. Hal
demikian sering dimaafkan oleh aparat
setempat.
ad. 3)Dwaling mengenai dasar-dasar yang
meniadakan hukuman Dwaling bentuk ini didahului dengan adanya
kasus penyerangan orang lain yang disebabkan suatu perasaan takut. Hal ini
menimbulkan perbedaan pendapat antara pakar hukum pidana. Sebagian pakar
menyetujui adanya error mengenai
hak melakukan pembelaan diri. Namun, sebagian tidak menyetujuinya termasuk Hoge Raad
yang berpendapat dibenarkan melakukan serangan dengan alasan adanya
ketakutan dirinya akan diserang oleh seseorang
yang telah mengambil sikap
mengancam. (H.R. 4 Mei 1936).
F. PERUMUSAN
KESENGAJAAN DALAM KUHP
1). Dengan Maksud.
Pasal 362 KUHP, “ Barangsiapa mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum, dihukum ….”
2) Dengan sengaja
Pasal 338 KUHP, “Barangsiapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain dihukum …”
3) Mengetahui atau
diketahuinya.
Pasal 480 KUHP, “Barangsiapa …… yang diketahuinya atau
patut disangkanya bahwa barang itu diperoleh dari kejahatan.
4) Dengan direncanakan lebih
dahulu
Pasal 340 KUHP, “Barangsiapa dengan sengaja dan
direncanakan lebih dahulu, menghilangkan jiwa orang lain, dihukum ….”
5) Dengan paksa
Pasal 167 KUHP, Barangsiapa dengan paksa dan melawan
hukum memasuki sebuah rumah atau ruangan atau pekarangan tertutup …..”
6) Melawan
Pasal 212 KUHP, Barangsiapa dengan kekerasan melawan
seseorang Pegawai Negeri yang sedang melakukan tugas pekerjaan dengan sah.
7) Menghasut
Pasal 160 KUHP, “Barangsiapa dengan lisan atau dengan
tulisan menghasut dimuka umum dengan melawan hukum……”
G. PEMBUKTIAN UNSUR KESENGAJAAN
Putusan MA. RI. tanggal 2-1-1986 Reg. No.1295
K/Pid/1985 An. Romli alias oom.
Kasus Posisi:
-
Terdakwa Romli
alias Oom menusuk korban dengan pisau diarahkan ke jantung yang juga menembus
paru-paru (sesuai visum et repertum).
-
PN, PT
memutuskan Terdakwa bersalah melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya
orang (Psl 353 ayat (3).
contoh:
didahului dengan adanya kasus penyerangan terhadap
orang lain yang disebabkan suatu perasaan takut.
Pertimbangan:
-
PN, PT, untuk
ketahui kesengajaan menghilangkan nyawa, dibuktikan dengan tusukan apakah
korban mati seketika / tidak.
-
MA,
menghilangkan nyawa orang lain dapat dibuktikan dengan alat yang digunakan dan
sasaran pada badan korban.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.Moeljatno, S.H. “ Asas-asas Hukum Pidana
“ Penerbit Rineka Cipta-Jakarta Cetakan Kedelapan Maret 2008.
Dr.Leden
Marpaung,S.H. “ Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana “ Penerbit Sinar
Grafika-Jakarta Agustus 2014.
Mohon bantuan Bang.. apakah tunjangan lain lain (other allowance) yang ada dalam slip gaji dan setiap bulan saya terima bisa dikategorikan sebagai Penerimaan Tetap yang disebut sebagai komponen Upah.
BalasHapusMengacu kepada UU No 13 Tahun 2003 Pasal 157 ayat (1) a. dan b.
Terima kasih
WA saya 0818194880 please
Unsur dari Tunjangan Tetap adalah Setiap Pemberian yang diberikan bersamaan dengan Upah Pokok, dan Pemberian tersebut tidak berhubungan atau Tidak mempengaruhi pada Kehadiran, maka itu termasuk Penerimaan Tetap atau Tunjangan Tetap, tapi bila mempengaruhikehadiran umpamanya bila Tidak Masuk Kerja maka Pemberian tersebut dapat hilang atau dikurangi maka Pemberian Tersebut bukan Tunjangan Tetap yang merupakan Komponen Upah dalam Perhitungan Pembayaran Pesangon atau hak lainnya. Demikian Pak. Terima Kasih Telah Hadir di Blog ini.
HapusCasino Hotel and Gambling - Mapyro
BalasHapusCasino Hotel and Gambling Near Harrah's Gulf 평택 출장샵 Coast. Directions · (944) 563-8248. 시흥 출장마사지 Call Now · More Info. 울산광역 출장마사지 Hours, Accepts Credit 전주 출장안마 Cards, Phone. Accepts Rating: 2.6 · 16 votes 구리 출장안마