KETENAGAKERJAAN
Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,
selama, dan sesudah masa kerja.[1]
Sedangkan
yang dimaksud dengan Hukum
Ketenagakerjaan adalah seperangkat aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis,
yang mengatur pola hubungan industrial antara pemberi kerja di satu sisi dan
penerima kerja di sisi yang lain.[2]
Ketenagakerjaan
pada umumnya biasa diartikan sebagai suatu peristiwa di mana terdapat dua pihak
yaitu pekerja dan pengusaha. Pekerja merupakan pihak yang bekerja pada
pengusaha dengan tujuan untuk menerima upah, sedangkan yang dimaksud dengan
pengusaha adalah orang perseorangan ataupun suatu badan hukum yang menjalankan
suatu perusahaan milik sendiri serta memberikan pekerjaan kepada tenaga kerja
dengan membayarkan upah kepada tenaga kerja tersebut. Terkait dengan penjelasan
tersebut, terdapat salah satu aspek penting dalam ketenagakerjaan yaitu
pekerjaan. Pekerjaan diposisikan sebagai suatu kebutuhan mendesak yang harus
dipenuhi oleh setiap individu karena dengan bekerja seseorang tersebut dapat
memperoleh penghasilan yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan. Sehubungan
dengan adanya tatanan kehidupan dan tatanan kemasyarakatan, hal ini berarti
merujuk kepada kesejahteraan setiap tenaga kerja di Indonesia.[3]
Kemudian
lebih lanjutnya dipaparkan kembali dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
yang menegaskan, bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak”. Dari kutipan UUD NRI Tahun 1945 tersebut telah jelas
bahwa kesejahteraan adalah hak setiap warga negara agar dapat menjalani
kehidupan yang layak, dan untuk mendukung terciptanya kesejahteraan maka
dibutuhkan pekerjaan yang layak. Setiap warga negara pada dasarnya pasti
memiliki keinginan untuk berkehidupan dan bekerja secara layak agar mendapatkan
kehidupan yang sejahtera, karena kehidupan sejahtera tersebut adalah hak bagi
setiap warga.[4]
Dasar hukum yang mengatur mengenai ketenagakerjaan di
Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Berdasarkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pembangunan
ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat,
martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera,
adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.[5]
Tenaga
kerja merupakan pelaku pembangunan dan pelaku ekonomi, baik secara individu
maupun escara kelompok. Sumber daya tenaga kerja di Inonesia jumlahnya
melimpah. Indikasiini bisa dilihat dari masih tingginya jumlah pengangguran di
Indonesia karena minimnya lapangan kerja.[6]
Untuk itu, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan agar
memberikan kesempatan yang luas bagi pencari kerja. Selain membuka lapangan
kerja, hal yang harus diperhatikan selanjutnya memberikan perlindungan hukum,
membina, dan mengarahkan tenaga kerja.[7]
Oleh karena itu, pembangunan ketenagakerjaan harus diatur
sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi
tenaga kerja, serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak
hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja,
tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan
masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif,
antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan
produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan
kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial.[8]
[1]Aries
Harianto, Hukum Ketenagakerjaan,
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2016), hlm. 10.
[2]R.
Joni Bambang S., Hukum… Op. Cit., hlm. 3.
[3] Rohendra Fathammubina dan Rani Afriani, Perlindungan Hukum Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak Bagi Pekerja, (Jurnal Volume 3 Nomor 1 Mei 2018 Fakultas Hukum Singaperbangsa Karawang), Hlm.118.
[4]
Ibid.
[5]Lalu
Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm. 7.
[6] Febri Handayani, dan Lysa
Angrayni, Problematika Ketenagakerjaan di
Kota Batam Menurut Undang-Undag Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. (Jurnal Respublica,
Volume 16, Nomor 2 Mei 2017), hlm.268.
[7]
Ibid
[8]Lalu
Husni, Pengantar …Op.Cit,
hlm. 8-9.
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN KETENAGAKERJAAN
Pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur,
dan merata, baik material maupun spiritual.[1]
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai
dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas
adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan
keterkaitan dengan berbagai pihak, yaitu antara pemerintah, pengusaha,
dan pekerja/buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung.[2]
Tujuan dari pembangunan ketenagakerjaan di
Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah:
1.
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi. Pemberdayaan
dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk
dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia.
Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia
dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan
tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya
2. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk mewujudkan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah.Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar
kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi
seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat
mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
3. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.
4. Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
tenaga kerja dan keluarganya.[3]
[1]Darwis
Anatami, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan,
(Yogyakarta: Deepublish, 2017), hlm. 16.
[2]Ibid., hlm. 17-18.
[3]Ibid., hlm. 19.
HUBUNGAN KERJA
Hubungan kerja adalah suatu hubungan hukum yang dilakukan oleh
minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan. Subjek hukum yang melakukan
hubungan kerja adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hubungan
kerja merupakan inti dari hubungan industrial.
[1]
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara
pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai
unsur pekerjaan, upah dan perintah.
Perjanjian kerja mempunyai manfaat yang besar bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian itu. Hal ini hendaknya harus disadari karena dengan
perjanjian kerja yang dibuat dan ditaati secara baik akan menciptakan suatu
ketenangan kerja, jaminan kepastian hak dan kewajiban baik bagi pihak buruh
maupun majikan. [2] Namun
adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja tidak dengan sendirinya
akan terjadi hubungan kerja, tetapi hubungan kerja akan terjadi bilamana
unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur yang pertama adalah adanya pekerjaan (arbeid), yaitu pekerjaan itu bebas
sesuai dengan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan majikan, asalkan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban
umum.[3]
Unsur kedua, yaitu dibawah perintah (gezag ver houding), didalam hubungan kerja kedudukan majikan
adalah pemberi kerja, sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk
memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaannya.Kedudukan
pekerja/buruh sebagai pihak yang menerima perintah untuk melaksanakan
pekerjaan.Hubungan antara pekerja/buruh dan majikan adalah hubungan yang
dilakukan antara atasan dan bawahan, sehingga bersifat subordinasi (hubungan yang bersifat vertical, yaitu atas dan
bawah). [4]
Unsur Ketiga adalah adanya upah (loan) tertentu yang menjadi
imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja/buruh.[5] Berdasarkan Pasal 1 angka
30 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja
kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian
kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan. Segala hal
dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pengusaha.
Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan. Pada
prinsipnya perjanjian kerja dibuat secara tertulis, namun melihat kondisi
masyarakat yang beragam dimungkinkan perjanjian kerja secara lisan. Perjanjian
kerja yang dipersyaratkan secara tertulis harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, antara lain perjanjian kerja waktu tertentu,
antar kerja antar daerah, antar kerja antar negara, dan perjanjian kerja laut.
Berdasarkan Pasal 52 Ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
disebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1.
Kesepakatan kedua belah pihak.
2.
Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para
pihak yang mampu atau cakap menurut hokum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga
kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
3.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan.
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 54 Ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:
a.
Nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha.
b.
Nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh.
c.
Jabatan
atau jenis pekerjaan.
d.
Tempat
pekerjaan.
e.
Besarnya
upah dan cara pembayarannya.
f.
Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh.
g.
Mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja.
h.
Tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat.
i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud di
atas dalam angka 5 dan angka 6 tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Yang dimaksud dengan tidak boleh
bertentangan adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja, baik kualitas maupun
kuantitas, tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. Perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud di atas dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang
mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha
masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau
diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya mengenal adanya dua perjanjian kerja yakni Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa
Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat
tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan tersebut dinyatakan sebagai
perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu. Dalam hal perjanjian kerja dibuat
dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan
penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dalam hal disyaratkan masa percobaan
kerja dalam perjanjian kerja tersebut, masa percobaan kerja yang disyaratkan
batal demi hukum. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai
dalam waktu tertentu, yaitu:
1)
Pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
2) Pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan
paling lama 3 (tiga) tahun.
3)
Pekerjaan
yang bersifat musiman.
4) Pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor : KEP.
100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu, membagi Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) menjadi empat bagian yakni :
a) PKWT
untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang
penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun;
b) PKWT
untuk pekerjaan yang bersifat musiman;
c) PKWT
untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru; dan
d) Perjanjian
kerja harian atau lepas
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Yang dimaksud dengan pekerjaan
yang bersifat tetap adalah pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman. Pekerjaan
yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu
kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus-menerus,
tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu
proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena
adanya suatu kondisi tertentu, maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap, sehingga dapat menjadi obyek
perjanjian kerja waktu tertentu.
Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian kerja
waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk
paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja
waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu)
kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor : 7/PUU-XII/2014, memberikan makna bahwa, “ demi hukum “ dimaksud adalah pekerja
dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
kepada pengadilan negeri setempat dengan syarat :
- Telah
dilaksanakan perundingan bipartite namun perundingan bipartite tersebut tidak
mencapai atau salah satu pihak menolak berunding; dan
- Telah
dilakukan pemeriksaan oleh pegawai
pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3
(tiga) bulan. Syarat masa percobaan kerja harus dicantumkan dalam perjanjian
kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, maka syarat masa
percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan
dicantumkan dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam
perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan
kerja dianggap tidak ada. Dalam masa percobaan kerja tersebut, pengusaha
dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.
Berdasarkan Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
disebutkan bahwa perjanjian kerja berakhir apabila:
- Pekerja meninggal dunia.
- Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
- Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,
pewarisan, atau hibah. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak
pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. Dalam hal
pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli waris pengusaha dapat
mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja
sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu
tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana
dimaksud di atas, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar
ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu dibuat
secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi
pekerja/buruh yang bersangkutan. Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya
memuat keterangan:
1.
Nama
dan alamat pekerja/buruh.
2.
Tanggal
mulai bekerja.
3.
Jenis
pekerjaan.
4.
Besarnya
upah.
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
lain tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama.
2.
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi
pekerjaan.
3.
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan.
4.
Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Perusahaan lain sebagaimana dimaksud di atas berbentuk
badan hukum. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada
perusahaan lain tersebut sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan
syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana
dimaksud di atas diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara
perusahaan lain dan pekerja/buruh yang dipekerjakannya. Hubungan kerja tersebut
dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian
kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas.
Namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 memberikan
pengertian bahwa “ Frasa “ Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut
tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh
yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang
melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh.
Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk
kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi. Pada pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan usaha pokok
atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, pengusaha hanya
diperbolehkan mempekerjakan pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu
tertentu dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu
perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa
penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan
pekerja/buruh.
Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
- Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja tersebut adalah perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di
atas dan/atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis
dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
- Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, maupun
penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan
pekerja/ buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.
- Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
MAAF PAK...TOLONG KRIMKAN AD/ART SPSI DALAM BENTUK PDF.....TRIMS!
BalasHapusEMAIL : rafianrafi846@gmail.com
BalasHapus